Senin, 26 Desember 2011

Filsafat Ilmu


BAB I
PENDAHULUAN
Manusia selalu ingin tahu apa yang memang tampak konkret dan nyata. Segala sesuatu yang nampak dan diketahuinya akan menjadi sebuah pengetahuan. Pembuktiaan secara inderawi yang menyatakan kebenaran tentang pengetahuan tersebut. Tetapi pengalaman indrawi belumlah cukup untuk menghasilkan suatu pengetahuan. Pengalaman indrawi tersebut harus mengalami proses ilmiah yang lebih lanjut atau disebut sebagai proses metodologis. Dalam proses metodologis ini, diperlukan prinsip epistemologi yang dapat mengkaji lebih dalam tentang pengetahuan. Epistemologis mencakup berbagai hal seperti batas pengetahuan, sumber pengetahuan, serta kriteria kebenaran.
Pembuktian pengetahuan diperlukan untuk keabsahan suatu teori pengetahuan. Kita dapat melihat perkembangan pengetahuan lewat suatu Paradigma Karl Popper dan Thomas Kuhn. Thomas Kuhn berfikir bahwa dalam kenyataannya teori utama dalam ilmu pengetahuan alam tidak dapat difalsifikasi secara langsung. Ia memahami tentang kemajuan di dalam ilmu pengetahuan dengan berpijak pada teori falsifikasi Popper. Ia merumuskan teori baru yang didasarkan pada penelitian historis bagaimana ilmu pengetahuan mengalami perubahan dan perkembangan dalam sejarahnya. Ilmu pengetahuan tidak secara otomatis menyingkirkan suatu teori ketika ada bukti – bukti yang berlawanan dengan teori tersebut, melainkan perubahan tersebut terjadi melalui proses yang bersifat gradual (bertahap) dan kumulatif (penyimpulan).

BAB II
PEMBAHASAN
A.    Klasifikasi Ilmu Pengetahuan Menurut Karl Raimund Popper
Karl Raimund Popper lahir di Wina tanggal 28 Juli 1902. Ayahnya Dr. Simon Siegmund Carl Popper adalah seorang pengacara yang sangat berminat pada filsafat. Maka tidak mengherankan bila ia begitu tertarik dengan dunia filsafat, karena ayahnya telah mengkoleksi buku-buku karya filusuf-filusuf ternama.
Pada usia 16 tahun ia keluar dari sekolahnya, Realgymnasium, dengan alasan Ia bosan dengan pelajaran disana maka ia menjadi pendengar bebas di Universitas Wina dan baru pada tahun 1922 ia diterima sebagai mahasiswa disana.
Karl banyak menulis buku-buku yang berkaitan dengan ilmu pengetahuan dan epistemologi, dan sampai pada bukunya yang berjudul Logik der Forschung, ia mengatakan bahwa pengetahuan tumbuh lewat percobaan dan pembuangan kesalahan. Dan terus berkembang sampai karyanya yang berjudul The Open Society and Its Enemies, dalam karyanya ini Popper mengungkapkan bahwa arti terbaik “akal” dan “masuk akal” adalah keterbukaan terhadap kritik-kesediaan untuk dikritik dan keinginan untuk mengkritik diri sendiri.
Karl. R Popper membedakan dunia ilmu dan dunia diluar ilmu. Ungkapan dari luar dunia ilmu tidak dicap sebagai “tidak bermakna”. Untuk kemajuan dunia ilmu Popper menyatakan bahwa kemajuan ilmu terjadi apabila hasil ilmu yang lama dibuktikan salah sampai munculnya hukum-hukum yang belum dibuktikan salah dan bahkan untuk sementara justru diperkuat. Menurut Popper ilmu-ilmu membentuk suatu dunia tiga yang berdaulat dan tak terikat subjek. Filsafat ilmu baru kemudian datang dengan maksud mendobrak citra ilmu yang telah bercokol sebelumnya. Penghargaan pada peranan sejarah ilmu baru merupakan ciri khasnya. Dengan berguru pada sejarah perkembangan ilmu diharapkan filsafat ilmu kian dekat dengan menyatakan ilmu pengetahuan yang sebenarnya.[1]
Dalam kaitannya dengan problem filsafat ilmu, pemikiran Popper, oleh beberapa penulis sering dikelompokkan dalam tiga tema, yaitu persoalan induksi, demarkasi dan dunia ketiga. Ia memang tidak sependapat dengan keyakinan tradisional tentang “induksi”, dan menyatakan bahwa tidak ada sejumlah contoh-contoh khusus yang menjamin prinsip universal. Demikian juga soal “verifikasi” sebagaimana diyakini lingkaran Wina. Bagi dia, “falsifikasi” atau juga disebut “falsifiabilitas” adalah batas pemisah (demarkasi) yang tepat, antara ilmu dengan yang bukan ilmu.[2]

a.      Induksi[3] dan Hepotesa[4]
Bagi para praktisi ilmu, metode induksi sering tidak pernah jadi persoalan, namun bagi pengamat, teoritisi dan filsuf ilmu, induksi selalu menjadi problem. Persoalan mendasar bagi mereka adalah, bahwa metode induksi yang berangkat dalam beberapa kasus partikular kemudian dipakai untuk menciptakan hukum umum dan mutlak. sebagai contoh, berdasarkan beberapa penelitian “bahwa angsa berwarna putih, disimpulkan bahwa semuaa angsa itu berwarna putih” dan juga “emas itu dipanaskan memuai, tembaga dipanaskan memuai, besi dipanaskan memuai, tembaga dipanaskan memuai, lalu disimpulkan bahwa semua logam memuai.” Dalam hal itu Popper menolak pernyataan tersebut, Popper mengatakan bahwa peralihan dari yang particular ke yang universal itu secara logis tidak sah.[5]
            Secara khusus pula popper mengkritik dalam persoalan pandangan neo-positifisme (Viena Circle), yang menerapkan pemberlakuan hokum umum-dan menganggapnya-sebagai teori ilmiah. Seperti yang kita ketahui bahwa mereka memperkenalkan dengan sebutan ungkapan bermakna, untuk membedakannya dari ungkapan yang tidak bermakna berdasarkan kriteria dapat atau tidaknya dibenarkan secara empiris. Popper menyatakan bahwa suatu teori umum bisa dirumuskan atau dibuktikan kebenarannya melalui prinsif verifikasi[6].
Bagi Popper, suatu teori tidak bersifat ilmiah hanya bisa dibuktikan karena kebenarannya, melainkan karena dapat diuji dengan percobaan-percobaan yang sistematis untuk menyangkalnya. Apabila suatu teori dapat bertahan melawan segala penyangkalan, maka kebenaran hepotesa atau kebenaran tersebut semakin diperkokoh. Makin besar kemungkinan untuk menyangkal suatu teori dan jika teori itu terus bisa bertahan, maka semakin kokoh pula kebenarannya.[7]
Menurut Popper, teori-teori ilmiah selalu dan hanyalah bersifat hepotesa, tak ada kebenaran terakhir. Setiap teori selalu terbuka untuk digantikan oleh teori yang lebih tepat. Untuk itu Popper lebih suka menggunakan istilah hepotesa, atas dasar kesementaraannya. Bagi Popper sebuah hepotesa, hokum, atau teori, kebenarannya hanya bersifat sementara, yakni sejauh belum ditemukan kesalahan-kesalahan yang ada di dalamnya.[8]

b.      Demarkasi dan Falsifikasi
Seperti yang telah sebelumnya bahwa dalam hal pembedaan antara ungkapan yang disebut bermakna  dari yang ungkapan tidak bermakna berdasarkan criteria dapat atau tidaknya dibenarkan secara empiris. Pembedaan itu digantinya dengan apa yang disebut demarkasi atau garis batas, dalam hal ini, antara ungkapan ilmiah dan tidak ilmiah. Karena menurut Popper, ungkapan yang tidak bersifat ilmiah mungkin sekali sangat bermakna, begitu pula sebaliknya.[9]
Selanjutnya Popper mengajukan prinsip falsifikasi sebagai ciri utama ilmiah. Menurutnya, sebuah proposisi (ataupun teori) empiris harus dilihat potensi kesalahannya. Sejarah menunjukan, selama suatu teori bisa bertahan dalam upaya falsifikasi, selama itu pula teori tersebut tetap kokoh, meski ciri kesementaraannya tetap tidak hilang. Hal tersebut menunjukan bahwa kemajuan ilmu pengetahuan itu tidak bersifat akumulatif dari waktu ke waktu. Perkembangan dan kemajuan ilmu terjadi akibat dari eliminasi yang semakin ketat terhadap kemungkinan yang salah. Maka metode yang cocok untuk upaya ini adalah falsifikasi[10].
c.       Dunia ketiga
Untuk melihat keutuhan pemikiran filsafat ilmu Popper, perlu kita uraikan konsef yang lain, yaitu Dunia Tiga, yaitu:
         Dunia I            :           Kenyataan fisis dunia (realita)
         Dunia II          :           Segala kejadian dan psikis dalam diri manusia
         Dunia III         :           Segala hipotesa, hukum, teori ciptaan manusia (karya ilmiah, studi ilmiah, penelitian ilmiah) yang hasil dari kerja sama dunia satu dengan dunia dua, serta seluruh bidang kebudayaan, seni, metafisika, agama, dan lain-lain.[11] Yang mana dunia ketiga ini merupakan dunianya para filsuf dan ilmuwan.
Menurut Popper, Dunia Tiga hanya ada selama dihayati, dalam arti berupa karya dan penelitian ilmiah, dalam studi yang berlangsung, membaca buku, dalam ilham yang sedang mengalir dalam diri para seniman dan pengggemar seni yang mengadaikan adanya suatu kerangka. Sesudah penghayatan itu, senuanya langsung mengendap dalam  bentuk fisik alat-alat ilmiah, buku-buku, karya seni, dan seterusnya. Dengan pengendapan itru semua, maka mereka telah menjadi Dunia Satu, namun bisa bangkit menjadi Dunia Tiga kembali, berkat perhatian Dunia Dua. Dalam Dunia Tiga menurut Popper, dunia itu mempunyai kedudukan sendiri, mempunyai otoritas  dan tidak terikat baik pada Dunia Satu maupun pada Dunia Dua.[12]
Ada dua ekstrim yang memang ingin dihindari oleh Popper, yaitu: objektivisme yang berpandangan bahwa hukum alam ada pada kenyataan fisis dan subjektivisme yang berpandangan bahwa hukum alam adalah dimiliki dan dikuasai oleh manusia. Menurut Popper, manusia itu terus bergerak semakin mendekati kebenaran.[13]
Dari sini Popper menarik kesimpulan dari pernyataannya tentang falsifikasi ilmu itu bahwa menghadapkan teori-teori pada fakta-fakta yang dapat menunjukkan ketidak benarannya adalan satu-satunya cara yang tepat untuk mengujinya dan juga satu-satunya cara yang memungkinkan ilmu pengetahuan bisa berkembang terus menerus. Dan dengan adanya kemungkinan untuk menguji teori tentang ketidakbenarannya berarti teori itu terbuka untuk di kritik dan ia memunculkan apa yang dinamakan Rasionalisme kritis. Demikianlah sekelumit kehidupan Karl Raimund Popper yang mengakhiri hidupnya pada tahun 1994.


B. Klasifikasi Ilmu Pengetahuan Menurut Thomas Kuhn
Thomas S. Kuhn lahir pada tanggal 18 Juli 1922 di Cincinnati, Ohio Amerika Serikat.[14] Pada awalnya tahun 1949, ia memulai karir akademis sebagai ahli fisika dan kemudian mengalihkan perhatiannya kepada sejarah ilmu. Sejak karya utamanya, The Sructure of Scientific Revolution, Kuhn telah mengemukakan bahwa ia menggunakan istilah “paradigma” dalam pengertian kembar. Di dalam postcriptnya edisi 1970, ia membedakan pengertian umum istilah itu, yang kini ia sebut sebagai disciplinary matrix (pola ilmiah) dan pengertian sempitnya yang telah diganti dengan exemplar-contoh atau teladan. Selain, The Sructure of Scientific Revolution, karya modifikasi Kuhn mengenai idenya yang orisinal tentang paradigma lebih terperinci adalah Second Thoughts of Paradigms yang diterbitkan pada tahun 1973 di Urbana : University of Illinois Fress (Chalmers, 1983:95-105). Dimasa-masa akhir hidupnya Kuhn menderita sakit kanker selama beberapa tahun, dan dia mengakhiri kehidupannya pada hari Senin, 17 juni 1996 dalam usia 73 tahun.[15]
Kuhn mengimplikasikan bahwa ilmu tidak berkembang secara komulatif dan evolutioner, melainkan dengan cara revolusioner. Kuhn juga menekankan aspek psikologi dan  komunal dalam perkembangan ilmu pengetahuan dalam suatu diskusi yang agak panjang dengan Popper, posisi Kuhn ini dikecam sebagai psychology of discovery, sedang Popper menanamkan posisinya sebagai Logic of discovery. Jasa Kuhn sebenarnya terletak pada pendobrakan citra filsafat ilmu sebagai logika ilmu dan citra bahwa ilmu adalah suatu kenyataan yang punya kebenaran seakan-akan sui-generis atau objektif.[16]
Cara kerja paradigma dan terjadinya revolusi ilmiah dapat digambarkan secara umum kedalam tahap-tahap atau pengkasifikasian sebagai berikut:
1.      Normal Science[17] (ilmu dalam posisi normal, ilmuan tidak kritis terhadap paradigma ilmu yang dianuti).
2.      Anomali[18] (penumpukan anomali menimbulkan krisis kepercayaan terhadap paradigma lalu paradigma diuji, dikritik. Ilmuwan keluar dari situasi normal).
3.      Paradigma baru[19] (Ilmuwan memodifikasi paradigma baru untuk memecahkan masalah yang sedang digeluti, ada revolusi ilmiah)
Sedikit penjelasan tentang tahapan-tahapan dan pengklasifikasian diatas adalah sebagai berikut:
Tahap pertama, paradigma ilmu membimbing dan mengarahkan aktivitas ilmiah dalam masa ilmu normal (Normal Science). Karena dalam wilayah ini sering terjadi banyak persoalan yang tidak bisa diselesaikan secara tuntas. Dan keadaan seperti itulah yang disebut oleh Kuhn sebagai “anamolies”, keganjilan-keganjilan, ketidaktepatan, penyimpangan-penyimpanga. Dengan penempelan anomaly pada tahapan ini yang sering kali membuat para pelaksana di lapangan tidak merasakannya. Hanya para peneliti serius tertentu, para pengamat, dan kritikus yang secara relative mengetahui adannya anomaly tersebut. Yang sering disebut mereka itulah pelaku dari sains yang luar biasa.
Disini para ilmuan berkesempatan menjabarkan dan mengembangkan paradigma sebagai model ilmiah yang digelutinya secara rinci dan mendalam. Dalam tahap ini para ilmuan tidak bersikap kritis terhadap paradigma yang membimbing aktivitas ilmiahnya. Selama menjalankan aktivitas ilmiah itu para ilmuan menjumpai berbagai fenomena yang tidak dapat diterangkan dengan paradigma yang digunakan sebagai bimbingan atau arahan aktivitas ilmiahnya itu, ini dinamakan anomali.
Tahap kedua, menumpuknya anomaly menimbulkan krisis kepercayaan dari para ilmuan terhadap paradigma. Paradigma mulai diperiksa dan dipertanyakan. Para ilmuan mulai keluar dari jalur ilmu normal. Namun jika ditemukan sebuah pemecahan yang lebih memuaskan oleh para ilmuan, artinya suatu komunitas ilmiah yang dapat menyelesaikan keadaan krisisnya dengan menyusun diri di sekeliling suatu paradigma baru, maka terjadilah apa yang disebut oleh kuhn sebagai “revolusi sains”.
Tahap ketiga, para ilmuan bisa kembali lagi pada cara-cara ilmiah yang lama sembari memperluas dan mengembangkan suatu paradigma tandingan yang dipandang bisa memecahkan masalah dan membimbing aktivitas ilmiah berikutnya. Proses peralihan dari paradigma lama ke paradigma baru inilah yang dinamakan revolusi ilmiah.[20]
Menurut Khun filsafat ilmu seharusnya berguru pada sejarah ilmu baru ( tanggapan terhadap Popper). Popper dituduh menjungkirbalikan kenyataan yang terlebih dahulu menguraikan terjadinya ilmu empiris melalui hepotesis yang diikuti falsifikasi. Setelah itu baru ia mengambil contoh-contoh dalam sejarah ilmu pengetahuan sebagai bukti untuk membela anggapannya. Menurt Khun, kita harus lebih berguru pada sejarah ilmu sebagai titik pangkal semua penelitian. Dengan ini filsafat ilmu pengetahuan lebih mendekati kenyataan ilmu dan aktivitas ilmiah yang sesungguhnya. Baginya kemajuan ilmiah pertama-tama bersifat revolusioner. Konsep utama Khun adalah paradigm (pola atau contoh).[21]
·        Pandangan Kuhn Tentang Ilmu
Gambaran Kuhn tentang cara ilmu berkembang dapat diringkaskan dalam suatu skema yang Open-ended, artinya sebuah akhir yang selalu terbuka untuk diperbaiki atau dikembangkan lebih lanjut. Skemanya adalah sebagai berikut :
Pra ilmu - ilmu biasa - krisis - revolusi - ilmu biasa baru - krisis baru
Aktivitas yang terpisah-pisah dan tidak terorganisasi yang mengawali pembentukan suatu ilmu akhirnya menjadi tersusun dan terarah pada saat suatu paradigma tunggal telah dianut suatu masyarakat ilmiah. Para pekerja pada suatu paradigma mempraktekkan apa yang disebut Kuhn sebagai ilmu biasa (natural sciene). Para ilmuwan biasa akan menjelaskan dan mengembangkan paradigma dalam usaha untuk mempertanggungjawabkan dan menjabarkan prilaku beberapa aspek yang relevan dengan dunia nyata ini, sebagaimana diungkapkan lewat hasil-hasil eksperimen.
Dalam melakukan ini, mereka tidak akan terelakan dari mengalami kesulitan dan menjumpai falsifikasi-falsifikasi. Apabila telah bebas dari kesulitan tersebut, maka berkembanglah keadaan krisis. Krisis teratasi apabila lahir paradigma yang baru sepenuhnya dan menarik makin banyaknya ilmuwan sampai akhirnya paradigma orisinal yang telah menimbulkan masalah itu dilepaskan. Perubahan terus-menerus dan terputus-putus itu merupakan revolusi ilmiah. Paradigma yang baru, yang penuh dengan janji tidak terkurung dari kesulitan-kesulitan yang tidak dapat diatasi, sekarang lantas membimbing aktivitas ilmiah yang baru dan biasa sampai pada akhirnya ia pun jatuh pada kesukaran yang serius dan timbullah krisis baru yang diikuti oleh suatu revolusi baru.
·        Berikut ini adalah penjelasan secara terperinci tentang komponen skema Kuhn diatas:
1.   Paradigma dan Ilmu Biasa
Ilmu yang sudah matang dikuasai oleh suatu paradigma tunggal. Paradigma menetapkan standard-standar pekerjaan yang sah di dalam lingkungan yang dikuasai ilmu itu. Menurut Kuhn, eksistensi suatu paradigma yang mampu mendukung tradisi ilmu biasa merupakan cirri yang membedakan ilmu dengan non ilmu. Contoh, selama abad 19 paradigma Newtonian dikuasai oleh suatu asumsi seperti “ seluruh dunia fisika hendaknya diterangkan sebagai suatu system mekanika yang beroperasi dibawah pengaruh berbagai macam gaya menurut perintah hokum-hukum gerak Newton”. Akhirnya semua paradigma akan mengandung beberapa keterangan metodelogis yang sangat umum.
Ilmu biasa melibatkan usaha-usaha terperinci untuk menjabarkan suatu paradigma dengan tujuan memperbaiki imbangannya dengan alam. Suatu paradigma akan selalu secukupnya, tidak terlalu ketat dan mempunyai akhir yang selalu terbuka sehingga menimbulkan banyak macam pekerjaan untuk ditangani. Kuhn memandang ilmu biasa sebagai aktivitas pemecahan teka-teki yang dibimbing aturan-aturan suatu paradigma. Teka-teki itu bisa teoritis maupun eksperimental.
Kegagalan memecahkan teka-teki dianggap sebagai kegagalan ilmuwan itu sendiri bukan kegalemahan paradigma. Teka-teki yang gagal dipecahkan dianggap sebagai anomali (kelainan) ketimbang sebagai falsifikasi suatu paradigma. Kuhn mengakui bahwa semua paradigma mengandung  anomali.
Seorang ilmu biasa harus tidak kritis terhadap paradigma tempat ia bekerja agar ia dapat memusatkan upayanya pada pencabaran yang terperinci dan pada penyelesaian pekerjaan keahlian yang diperlukan untuk menyelidiki alam dalam kedalamannya.

2.   Krisis dan Revolusi
Ilmuwan biasa berkerja dengan yakin disuatu bidang yang jelas batasan-batasan nya menurut suatu petunjuk paradigma. Apabila ia menyalahkan paradigma karena gagal memecahkan masalah, ia akan terbuka untuk tuduhan yang sama seperti seorang tukang yang menyalahkan perkakasnya. Sekalipun demikian, kegagalan-kegagalan akan dijumpai dan pada akhirnya mencapai tingkat gawat yang merupakan krisis serius bagi paradigma itu.
Adanya problema yang tidak terpecahkan saja tidak akan menyebabkan krisis. Kuhn mengakui bahwa paradigma pasti akan menjumpai kesulitan. Kesulitan tersebut, menjadi serius apabila ia menyerang hal-hal yang fundamental dari suatu paradigma dan jika kelainan itu secara gigih menentang usaha para anggota masyarakat ilmiah biasa untuk menyampingkannya. Kelainan juga menjadi serius apabila ada kaitannya dengan beberapa kebutuhan masyarakat yang mendesak.
Sekali suatu paradigma telah diperlemah oleh batas sehingga para pendukungnya kehilangan kepercayaan kepadanya, berarti waktunya sudah masak ke revolusi. Kegawatan suatu krisis menjadi mendalam disaat suatu paradigma lawan telah menampilkan dirinya.
Tidak ada alasan yang logis menurut Kuhn yang murni mendemonstrasikan superioritas suatu paradigma atas paradigma lainnya, oleh sebab itu seorang ilmuwan secara rasional dapat berpindah dari paradigma yang satu ke paradigma lawan. Paradigma-paradigma yang bersaing tidak dapat saling diukur dengan standard yang sama.
Suatu revolusi ilmiah adalah sama dengan membuang paradigma lama dan menerima paradigma yang baru. Revolusi akan berhasil bila pengalihan ini akan harus menyebar begitu rupa sehingga meliputi mayoritas masyarakat ilmiah bersangkutan dengan meninggalkan hanya sedikit orang-orang yang memisahkan diri.
3.   Fungsi Ilmu Biasa dan Revolusi
Beberapa aspek dari tulisan Kuhn mungkin memberikan kesan bahwa pandangannya tentang watak ilmu adalah murni deskriptif, yaitu bahwa ilmu itu bertujuan untuk tidak lebih dari menguraikan teori-teori ilmiah atau paradigma-paradigma dan aktivitas para ilmuwan. Kuhn beranggapan bahwa pandangannya mengandung suatu teori tentang ilmu karena berisi tentang fungsi berbagai macam komponennya.
Menurut Kuhn, ilmu biasa dan revolusi melayani fungsi-fungsi tertentu yang perlu, sehingga ilmu itu harus melibatkan sifat-sifat beberapa ciri lain yang bisa melayani pelaksanaan fungsi-fungsi tadi.
Suatu paradigma mengandung kerangka khusus dari mana dunia dipandang dijabarkan dan ia pun mengandung seperangkat teknik eksperimen dan teoritis yang memungkinkan paradigma mengimbangi alam.
Bila suatu krisis berkembang , langkah revolusioner untuk menggantikan keseluruhan paradigma dengan yang lainnya menjadi esensial untuk kemajuan efektif suatu ilmu.
Kemajuan melalui revolusi adalah alternatif Kuhn untuk kemajuan yang kumulatif sebagaimana menjadi ciri pandangan induktivis tentang ilmu namun menurut Kuhn, itu adalah keliru karena ia mengabaikan peranan yang dimainkan oleh paradigma dalam membimbing observasi eksperimen.
Pemikiran Thomas Kuhn merupakan kritik dari Karl Popper yang menyatakan bahwa suatu teori ilmu pengetahuan yang memadai adalah teori yang bersifat konsisten, koheren serta selalu dapat difalsifikasi. Tidak ada teori ilmiah yang selalu dapat cocok secara logis dengan bukti – bukti yang ada. Dengan kata lain, teori yang tidak dapat ditolak bukanlah teori ilmu pengetahuan.
Kebenaran koherensi yaitu adanya kesesuaian atau keharmonisan antara sesuatu yang lain dengan sesuatu yang memiliki hirarki yang lebih tinggi dari sesuatu unsur tersebut, baik berupa skema, sistem, atau pun nilai.
Dengan melihat perbedaan pemikiran antara Thomas Kuhn dan Karl Popper, kita dapat melihat perkembangan atau kritik untuk menemukan suatu keabsahan ilmu – ilmu baru. Filsafat ilmu membahas persoalan ilmu pengetahuan dengan berbagai masalahnya, terutama yang berkaitan dengan metodologi atau pembenaran ilmiah. Sehingga, ciri keilmiahan suatu ilmu pengetahuan dengan cara kerja ilmiah menjadi bahan yang dikaji dalam filsafat ilmu. Dalam mengkaji ciri dan cara kerja ilmu pengetahuan itu, harus berlandaskan rasionalitas. Dengan demikian, rasionalitas sebagai media untuk filsafat ilmu dan epistemologi dalam menemukan kebenaran ilmiah.

Catatan:
Ø  Sebagai bahan pendukung tentang pemahaman makalah ini, saya menambahkan teori kebenaran paradigma menurut Noeng Muhadjir. (Ismaun; 2001), yang mana pernyataan ini saya tekankan mungkin bukan untuk dipersentasikan. Kebeneran-kebenaran tersebut, sebagai berikut:
a. Kebenaran koherensi
Kebenaran koherensi yaitu adanya kesesuaian atau keharmonisan antara sesuatu yang lain dengan sesuatu yang memiliki hirarki yang lebih tinggi dari sesuatu unsur tersebut, baik berupa skema, sistem, atau pun nilai. Koherensi ini bisa pada tatanan sensual rasional mau pun pada dataran transendental.
b. Kebenaran korespondensi
Berfikir benar korespondensial adalah berfikir tentang terbuktinya sesuatu itu relevan dengan sesuatu lain. Koresponsdensi relevan dibuktikan adanya kejadian sejalan atau berlawanan arah antara fakta dengan fakta yang diharapkan, antara fakta dengan belief yang diyakini, yang sifatnya spesifik
c. Kebenaran performatif
Ketika pemikiran manusia menyatukan segalanya dalam tampilan aktual dan menyatukan apapun yang ada dibaliknya, baik yang praktis yang teoritik, maupun yang filosofik, orang mengetengahkan kebenaran tampilan aktual. Sesuatu benar bila memang dapat diaktualkan dalam tindakan.
d. Kebenaran pragmatik
Yang benar adalah yang konkret, yang individual dan yang spesifik dan memiliki kegunaan praktis.
e. Kebenaran proposisi
Proposisi adalah suatu pernyataan yang berisi banyak konsep kompleks, yang merentang dari yang subyektif individual sampai yang obyektif. Suatu kebenaran dapat diperoleh bila proposisi-proposisinya benar. Dalam logika Aristoteles, proposisi benar adalah bila sesuai dengan persyaratan formal suatu proposisi. Pendapat lain yaitu dari Euclides, bahwa proposisi benar tidak dilihat dari benar formalnya, melainkan dilihat dari benar materialnya.
f. Kebenaran struktural paradigmatik
Sesungguhnya kebenaran struktural paradigmatik ini merupakan perkembangan dari kebenaran korespondensi. Sampai sekarang analisis regresi, analisis faktor, dan analisis statistik lanjut lainnya masih dimaknai pada korespondensi unsur satu dengan lainnya. Padahal semestinya keseluruhan struktural tata hubungan itu yang dimaknai, karena akan mampu memberi eksplanasi atau inferensi yang lebih menyeluruh.
Ø  Konfirmasi
Fungsi ilmu adalah menjelaskan, memprediksi proses dan produk yang akan datang, atau memberikan pemaknaan. Pemaknaan tersebut dapat ditampilkan sebagai konfirmasi absolut atau probalistik. Menampilkan konfirmasi absolut biasanya menggunakan asumsi, postulat, atau axioma yang sudah dipastikan benar. Tetapi tidak salah bila mengeksplisitkan asumsi dan postulatnya. Sedangkan untuk membuat penjelasan, prediksi atau pemaknaan untuk mengejar kepastian probabilistik dapat ditempuh secara induktif, deduktif, ataupun reflektif.
Jujun Suriasumantri (1982:46-49) menjelaskan bahwa penarikan kesimpulan baru dianggap sahih kalau penarikan kesimpulan tersebut dilakukan menurut cara tertentu, yakni berdasarkan logika. Secara garis besarnya, logika terbagi ke dalam 2 bagian, yaitu:
·         logika induksi dan
·         logika deduksi.

Ø  Corak dan Ragam Filsafat Ilmu
Ismaun (2001:1) mengungkapkan beberapa corak ragam filsafat ilmu, diantaranya:
  • Filsafat ilmu-ilmu sosial yang berkembang dalam tiga ragam, yaitu :
(1) meta ideologi, (2) meta fisik dan (3) metodologi disiplin ilmu.
  • Filsafat teknologi yang bergeser dari C-E (conditions-Ends) menjadi means. Teknologi bukan lagi dilihat sebagai ends, melainkan sebagai kepanjangan ide manusia.
  • Filsafat seni/estetika mutakhir menempatkan produk seni atau keindahan sebagai salah satu tri-partit, yakni kebudayaan, produk domain kognitif dan produk alasan praktis.
Ø  Tahap-Tahap Ilmu ada 3:

1. Tahap Sistematika.
         Pada tahap ini, ilmu menggolongkan obyek empiris ke dalam kategorikategori tertentu untuk menemukan ciri-ciri yang bersifat umum yang merupakan pengetahuan bagi manusia dalam mengenal dunia fisik.

2. Tahap Komparatif.
         Pada tahap ini manusia mulai membandingkan antara kategori yang satu dengan kategori yang lain.

3. Tahap Kuantitatif
         Pada tahap ini manusia mencari hubungan sebab akibat, tidak lagi berdasarkan perbandingan melainkan berdasarkan pengukuran yang eksak dari obyek yang sedang disediki.


BAB III
PENUTUP
Simpulan
Karl Popper berpendapat bahwa kita tidak dapat membuktikan bahwa suatu teori ilmu pengetahuan itu benar hanya dengan menambahkan bukt-bukti empiris yang baru. Sebaliknya, jika suatu bukti telah berhasil menunjukan kesalahan suatu teori, hal itu sudahlah cukup menunjukan bahwa teori tersebut tidak tepat. Kemudian, ia menunjukan bahwa suatu teori ilmiah tidak dapat selalu cocok dengan bukti – bukti yang ada. Bahkan, jika suatu teori mau dianggap sebagai teori ilmiah, teori tersebut justru haruslah dapat difalsifikasi. Tentu saja, di dalam prakteknya, suatu teori tidak otomatis dinilai tidak memadai, hanya karena ada satu bukti yang berlawanan dengant teori tersebut. Mungkin saja, bukti bukti yang diajukan untuk memfalsifikasi suatu teori itulah yang justru tidak tepat.
Sedangkan Thomas Khun, ia memahami tentang kemajuan di dalam ilmu pengetahuan dengan berpijak pada teori falsifikasi Popper. Ia merumuskan teori baru yang didasarkan pada penelitian historis bagaimana ilmu pengetahuan mengalami perubahan dan perkembangan dalam sejarahnya. Ia menyimpulkan bahwa ilmu pengetahuan tidak secara otomatis menyingkirkan suatu teori ketika ada bukti – bukti yang berlawanan dengan teori tersebut, melainkan perubahan tersebut terjadi melalui proses yang bersifat gradual dan kumulatif.
Dari beberapa uraian diatas bisa diambil kesimpulan bahwa kedua Filsuf mempunya visi dan pandangan yang sama untuk menciptakan ilmu – ilmu baru namun perbedaannya terletak pada cara mendapatkan atau menciptakan ilmu – ilmu baru tersebut. Jika kita setuju dengan pendapat Popper tentang proses falsifikasi, mungkin tidak akan banyak ditemukan perkembangan dan kemajuan di dalam ilmu pengetahuan. Suatu eksperimen ilmiah tidak pernah sepenuhnya benar, tetapi juga tidak pernah sepenuhnya keliru, sehingga harus digantikan saat itu juga. Popper berpendapat bahwa suatu data yang berlawan dengan teori yang ada dapat secara otomatis menyingkirkan teori yang ada tersebut. Namun dalam prakteknya, hal tersebut tidak terjadi.



Daftar Pustaka
Verhak dan Haryono Imam, Filsafat Ilmu Pengetahuan, PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta: 1989

Muhammad Muslih, Filsafat Ilmu: Kajian Atas Asumsi Dasar, Paradikma, dan Kerangka Teori Ilmu Pengetahua, Belukar, Yogayakarta: 2004

Konrad Kebung, Filsafat Ilmu Pengetahuan, PT. Prestasi Raya, Jakarta: 2011


[1] Verhak dan Haryono Imam, Filsafat Ilmu Pengetahuan, (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 1989) Hal. 179
[2] Muhammad muslih, Filsafat Ilmu: Kajian Atas Asumsi Dasar,Paradikma, dan KerangkaTeori Ilmu Pengetahuan. Editor: Surgana, (Yogayakarta: Belukar, 2004) hal. 120
[3] Induksi adalah metode pemikiran yang dari umum ke khusus
[4] Hepotesa adalah dugaan sementara
[5] Muhammad muslih, Filsafat Ilmu: Kajian Atas Asumsi Dasar,Paradikma, dan KerangkaTeori Ilmu Pengetahuan. Editor: Surgana, (Yogayakarta: Belukar, 2004) hal. 120-121
[6] Verifikasi adalah pengujian atau mengapsahan suatu kebenaran
[7] Muhammad muslih, Filsafat Ilmu: Kajian Atas Asumsi Dasar,Paradikma, dan KerangkaTeori Ilmu Pengetahuan. Editor: Surgana, (Yogayakarta: Belukar, 2004) hal. 121
[8] Ibid.., hal. 121-122
[9] Ibid.., hal. 122-123
[10] Falsifikasi sebagai metode atau alat untuk membedakan ilmu murni dengan ilmu tiruan (Popper menyebutnya)
[11] Verhak dan Haryono Imam, Filsafat Ilmu Pengetahuan, (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 1989) Hal. 162
[12] Muhammad muslih, Filsafat Ilmu: Kajian Atas Asumsi Dasar,Paradikma, dan KerangkaTeori Ilmu Pengetahuan. Editor: Surgana, (Yogayakarta: Belukar, 2004) hal. 124-125
[13] Ibid..,hal. 125
[14] Ibid..,hal. 125
[15] Ibid..,hal. 125
[16] Verhak dan Haryono Imam, Filsafat Ilmu Pengetahuan, (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 1989) Hal. 165-166

[17] Normal Science adalah penyelidikan atau usaha yang sungguh-sungguh dari para ilmuan
[18] Anomaly adalah suatu permasalahan-permasalahan yang tidak bisa diselesaikan secara tuntas
[19] Paradigm baru adalah suatu pemikiran baru terhadap penelitian
[20] Muhammad muslih, Filsafat Ilmu: Kajian Atas Asumsi Dasar,Paradikma, dan KerangkaTeori Ilmu Pengetahuan. Editor: Surgana, (Yogayakarta: Belukar, 2004) hal. 134-135
[21] Konrad Kebung, Filsafat Ilmu Pengetahuan, (Jakarta: PT. Prestasi Raya, 2011) hal. 79