Senin, 26 Desember 2011

orientalis


PENDAHULUAN
Dalam pandangan orientalis, islam adalah mahluk oriental dan eksotis, mistis dan filosofis bahkan “ancaman “ karenanya Islam harus dikaji dan ditelaah, yang tentu saja dalam frame kacamata barat. Pada sisi lain, barat yang memandang dirinya sebagai “self” dan timur islam sebagai “others” secara historis memiliki revalitas ideologis barat (Kristen) islam yang dipicu oleh perang salib (crausade) pada abad pertengahan.[1]
Tidak berlebihan kiranya jika dikatakan bahwa kehadiran Joseph Schacht dalam kajian Islam pada umumnya dan khususnya pada hukum Islam telah banyak menarik perhatian. Paling tidak ada tiga tesis besar yang diajukan Schacht yang menarik perhatian para orientalis, diantaranya tesis tentang hadis nabi dilihat dari materinya, atau tentang otentisitasnya sanad hadis  yang terakumulasi dalam teori projecting back , yang berkaitan juga dengan lahirnya hukum Islam.[2]
Selain Joseph Schahct, juga ada Ignaz Goldziher, Cristian Snuock Hurgronje, dan orientalis lainnya yang fokus mengkaji tentang hukum Islam. Namun yang selalu dapat kita mengerti, bahwa orientalis selalu punya misi dibalik semua kegiatan yang dilakukannya.
Berikut akan kita bahas sekilas mengenai bentuk kajian orientalis mengenai hukum Islam, metode dan pendekatan yang digunakan orientalis, contoh, serta beberapa pembelaan atas kesempurnaan hukum Islam.


PEMBAHASAN
A.            Bentuk-Bentuk Kajian Orientalis
1.      Kontribusi Al-Syafi’I Terhadap Perkembangan Hukum Islam.
Orientalis Belanda memfokuskan kajian mereka pada fiqih mazhab syafi’I yang menganut mayoritas penduduk daerah jajahan mereka. Karya perdana muncul pada tahun 1874 dari Lodewijk W.C. Van den Berg yang kemudian diterjemahkan kedalam bahasa Prancis pada 1896. Namun, tokoh terpenting orientalis belanda adalah Cristian Snuock Hurgronje. Dikenal produktif menulis, Snuock terjun langsung kedalam, menyamar sebagai mualaf, lantas bermukim dimekkah untuk mempelajari tradisi dan mentalitas orang Islam. Tidak kalah penting sumbangan Claudius dan Michael de Geoje serta theodor W. Juynboll. Disamping mempelajari bahasa dan adat istiadat  bangsa pribumi, orientalis belanda juga mengumpulkan dan mengkaji karya tulis yang berpengaruh.
Hal yang sama antara mereka menduduki sebagian besar wilayah afrika timur yang penduduknya kebanyakan bermazhab syafi’i. orientalis inggris juga melakukan yang sama, disamping mendalami bahasa, alam pikir dan adat istiadat, merekapun berusaha menyelami system perundang-undangan islam yang diamalkan warga india, Pakistan, Bangladesh dan Malaya. Tokohnya antara lain Charles Hamilton diteruskan oleh Neil Benjamin Baillie, William H. MacNasaghten, dan Sir Roland K. Wilson, yang mepelapori system perundangan bernama Anglo Muhammadan Law.
Orientalis juga melakukan kesalahan karena menyangkal pendapat ahli hukum (fiqih) sebagai ahli hukum. Pendapat ahli hukum sama sekali tidak bisa dianggap sebagai hukum, karena itu hanyalah suatu usaha memahami atau menemukan hukum bukan untuk menciptakan atau menentukannya. Perbedaan pendapat dikalangan pakar hukum tergantung pada pemahaman mereka tentang hukum, yang karenanya ijma harus membuktikan dan menentukan kebenaran hukum yang sesuai dengan nash.[3]
2.         Masa Akhir Bani Umayyah Sebagai Awal Munculnya Hukum Islam Hingga Masa-Masa Kemudian dan Teori Projecting Back
Joseph schact menegaskan bahwa hukum islam belum eksis pada masa al-Syab’I (W. 110 H). memberikan pengertian bahwa hadis yang berkenaan denga hukum islam yang ditemukan dipastikan adalah orang-orang yang hidup setelah itu. Ia berpendapat bahwa hukum islam baru dikenal semenjak masa pengangkatan qadi (hakim agama) yang dilakukan dimasa Dinasti bani umayyah. Kira-kira pada akhir abad ke 2 H, pengangkatan qadi itu ditujukan kepada orang-orang-orang spesialis dari kalangan orang taat beragama. Kemudian, jumlah orang spesialis itu semakin banyak, di samping solidaritasnya yang makin kuat, maka akhirnya mereka berkembang menjadi kelompok fiqh klasik.
Kemudian hukum yang diberikan oleh para qadi itu tentu memerlukan legistimasi dari orang-orang yang memiliki otoritas yang lebih tinggi, oleh karena itu mereka tidak menisbatkannya pada tokoh-tokoh sebelumnya. Selanjutnya, para qadi tersebut tidak hanya menisbatkan hukum pada orang-orang yang dekat jarak masanya, melainkan pada tokoh-tokoh yang jaraknya sangat jauh seperti kepada para sahabat sampai akhirnya pada Nabi Muhammad Saw yang memiliki otoritas tertinggi. Itulah gambaran dari Joseph Schacht dalam teori projecting back.[4]
Belakangan muncul upaya-upaya untuk merevisi dan menetralisir pandangan-pandangan Schacht yang dinilai terlalu keras dan tajam. Berkenaan dengan sejarah munculnya hukum Islam, Motzki tidak sependapat dengan Schacht. Menurutnya Al-Qur’an dan Hadist sudah dipelajari semenjak abad kedua hijriah atau bahkan sejak Nabi Muhammad saw. Masih hidup dan para fuqaha di Hijaz sudah menggunakan hadist sejak abad pertama hijriah.[5]
3.      Hadis dan Watak Fiqh Islam
Perumusan makna sunnah yang telah dilakukan Schacht, bukan saja mengakibatkan watak fiqh Islam tidak menemukan orisinalitasnya selain sebuah pelestarian dari sunnah komunitas saat itu atau sebelumnya yang menyatakan dirinya kembali dalam Islam. Ini membuka peluang diterimanya konsep-konsep hukum dari luar Islam.
            Ia juga menyatakan bahwa masuknya konsep asing meluas pada metode penalaran dan bahkan pemikiran mendasar mengenai ilmu pengetahuan hukum. Unsur-unsur hukum yang berasal dari Islam menyusup dalam hukum Islam yang baru berkembang selama masa perkembangan.[6]
            Padahal anggapan bahwa fiqh Islam hanya pelestarian sunnah komunitas saat itu -dalam artian bangsa arab- sama sekali salah. Memang ada juga adat kebiasaan bangsa Arab yang tetap diberlakukan oleh Islam  manakala hal itu dipandang baik dan adil. Namun jika dibandingkan dengan tata kehidupan dan adat kebiasaan mereka yang dihapuskan oleh islam, maka yang tidak dihapuskan ini adalah sedikit sekali.[7]
B.             Metode dan Pendekatan
1.         Setiap penelitian ilmiah pakai metode, dan setiap metode punya teori, dan setiap teori mengandung hipotesis atau presuposisi. Yakni pendapat-pendapat yang kebenarannya memang dianggap tak perlu, tak boleh atau bahkan sengaja tidak dipertanyakan, sebab jika dipersoalkan niscaya penelitian tersebut tak akan pernah dan mustahil terlaksana, sebab si peneliti harus membuktikan dulu kebenaran presuposisi tersebut sebelum ia dapat memulai risetnya.
Maka untuk menghindari sirkularitas alias ‘muter-muter’ dianggaplah dan diyakini sajalah presuposisi itu seolah-olah sudah atau bahkan pasti benar. Nah, di sinilah letak persoalannya. Yang mendasari kajian orientalis mengenai syari’ah dan fiqh islam.
Ø  Pertama, teori ‘perkembangan’ adalah Ignaz Goldziher yang julung kali secara panjang lebar menulis bahwasanya hukum islam itu mengalami perkembangan dan pemekaran dalam arti tidak langsung matang, lengkap atau tertib dari permulaan, akan tetapi melalui proses panjang dari masa pembentukan, kelahiran, pertumbuhan, pematangan, dan akhirnya kemerosotan. Semua itu konon terjadi akibat tuntutan zaman dan perubahan masyarakat dari masa ke masa: teori yang menyertai pendekatan historis ini menjadi ‘rukun iman’ orientalisme yang digigit kuat-kuat oleh para pengkaji sezaman maupun sesudahnya Alois Sprenger, David Samuel Margoliouth, Duncan B. M acdonald, dan E. Graf.
Ø  Kedua, teori pinjaman yang merupakan asas dari metode penelitian sejarah. Teori ini mengandaikan bahwasanya agama seperti halnya pengetahuan, keterampilan dan seni adalah hasil budi daya dan reka cipta manusia. Ia tidak muncul dari langit biru, melainkan berasal dari pergaulan antar anggota masyarakat, bangsa tertentu dengan bangsa lainnya. Maka islam pun beserta segala ajarannya disikapi sebagai bikinan manusia (bukan wahyu samawi).  Bertolak dari andaian ini para orientalis mencari-cari apa yang mereka sangka atau percaya sebagai asal usul (origins), sumber (sources), atau anasir asing (foreign elements) yang mempunyai kesan atau pengaruh terhadap ajaran-ajaran islam. Para orientalis umumnya mendakwa sebagian besar ajaran islam berkenaan akidah dan ibadah diambil dari dokrin dan tradisi agama yahudi ataupun nasrani. Demikian menurut Rudolf Macuch, Carl H. Becker, A.J. Wensinck, I.K.A Howard, Uri Rubin, Georges Vajda, C.S Hurgonje, H. Lazarus Yafeh, dan lain-lain.
Khusus mengenai fiqh dan ushul fiqh sebagai disiplin ilmu, metodologi, falsafah perundang-undangan, maka Alfred von Kremer, I. Goldziher, G Bergstrasser, Joseph Schacht, G. H. Bousquet, Judith R. Wegner, Patricia Crone, Norman Calder, Harald Motzki, Christopher Melchert, dan wael B. Hallaq. Semua orientalis ini pada intinya sebulat suara bahwasanya fiqh dan ushul fiqh sebagai suatu bangunan ilmu baru muncul pada abad kedua dan atau ketiga hijriah, sekitar seratus hingga dua ratus tahun setelah wafatnya Nabi Muhammad saw. Masih menurut mereka, fiqh bermula dari praktik masyarakat-masyarakat yang tetap terpelihara turun-temurun alias living tradisions istilah Schacht yang kemudian ditulis dan dibincangkan oleh sekelompok cendekiawan hingga lama-kelamaan tersusun dan terbentuk menjadi sebuah disiplin ilmu. Hadits beserta sanadnya dicipta sebagai alat justifikasi suatu tindakan atau pendapat tertentu dalam polemic antar mazhab. Imam as-Syafi’i dinilai berjasa sebagai pengasas ushul fiqh akan tetapi juga dituduh bersalah sebagai pengunci pintu ijtihad dan penyebab kemandekan fiqh. Demikian pendapat Schacht dan para pengekornya.
Ø  Ketiga, teori pengibulan, yang menuding adanya semacam konspirasi para cendekiawan pada abad-abad kedua, ketiga dan keempat Hijriah untuk menipu publik dengan ‘menyuap’ hadits dan sebagainya ke ‘mulut’ Nabi saw.
2.      Pendekatan
Ada tiga pendekatan yang lazim digunakan oleh orientalis dalam studi-studi mereka.
Ø  Pertama, pendekatan filologis atau penelitian naskah. Manuskrip yang telah diperoleh dipelajari, disunting, (di-edit), diterjemahkan dan diterbitkan dengan catatan kritis berkenaan bahasa maupun isinya contohnya ialah karya orientalis italia Eugenio Griffini yang menerbitkan ‘edisi kritis’ kumpulan fatwa seorang imam syiah dengan judul Corpus Iuris di Zaid ibn Ali cetakan Milan, 1919. Atau joseph Schacht yang mengedit kitab ikhtilaf al-fuqaha karya imam At-Tabari dicetak di Leiden, 1933.
Ø  Kedua,  pendekatan historis atau kesejarahan, yaitu orientalis berupaya mendapatkan pemahaman terhadap sejarah pemikiran, politik, sosial dan ekonomi dalam hubungannya dengan pengarang dan isi naskah yang sedang di bahas.
Ø  Ketiga, pendekatan empiris. Caranya dengan terjun langsung kedaerah yang hendak diselidiki seperti dikerjakan Snock selama beberapa bulan dimekkah, dan Eduard Lane di Mesir.[8]
C.      Contoh Tuduhan Orientalis
Dalam makalah seorang dosen studi islam di Universitas Leiden, Jan Baljon, tentang ciri-ciri khas islam di anak benua India, terdapat pembuktian bahwa syariat dan hukum-hukum Al-Quran tidak sesuai dengan perkembangan zaman sekarang sehingga harus diganti. Mantan pendeta dan Misionaris tersebut menegaskan: “sesungguhnya dalam masa perubahan pada situasi sosial, pengaruh kebudayaan barat dan hubungan-hubungan dagang dengan orang-orang eropa menuntut koreksi dan peninjauan kembali pada syariat islam. Jan Baljon bersama Asif Faydi, penganut isma’iliyah, mengusulkan sekularisme dan kemerdekaan dari agama untuk menjamin kemerdekaan mengemukakan pendapat dan kepercayaan. Pernyataan-pernyataan tersebut menampakkan dengan jelas kadangkala sang dosen dibidang ilmu pengetahuan pada bahasa Arab sebagai bahasa, dan tidak mengetahui islam dan syariat sebagai agama.[9]
D.     Pembelaan atas Hukum Islam
Prof. ahmad Muhammad Jamal fiqh Islam bukan ciptaan para ahli fiqh. Fiqh islam digali dari Alqur’an dan sunnah Rasullullah saw, sehingga hukum yang diistimbatkan oleh para ahli fiqh dengan ijma’ maupun qias, mengacu pada Al-Qur’an dan Sunnah Nabawiyah. Dan semua hasil ijtihad dan qias yang bertentangan dengan Al-Qur’an dan sunnah Nabawiyah adalah batil dan tertolak.[10]
            Prof. Yoseph Zakhariya- seorang Kristen yang mengajar mata kuliah Syariah Islam di Universitas Amerika- “syariat Islam lebih unggul dibandingkan dengan perundang-undangan lainnya yang berlaku pada zaman kita sekarang ini. Selain undang-undangnya lengkap, mencakup segala perintah dan larangan yang harus diikuti oleh segenap kaum muslimin, ia pun merupakan syariat yang mencakup peradaban yang sangat sesuai bagi semua manusia di dunia ini, baik muslim maupun non muslim.
            Dr. Enrico Insaya Taumin mengatakan,” islam dengan keterpeliharaannya dan sifatnya yang hidup, dengan kekuatan dan kebaikannya, selalu berjalan seiring dengan kebutuhan-kebutuhan hidup masa kini. Islam adalah agama yang telah memberikan undang-undang yang paling teguh untuk dunia, syariatnya jauh mengungguli perundang-undangan Eropa.
            Pada bulan Juli 1951 di kota Paris, di fakultas Hukum Universitas Sorbone diadakan pekan fiqh Islam atas prakarsa Lembaga Hukum Internasional untuk mengadakan perbandingan hukum dan menghasilkan suatu ketetapan: “bahwa prinsip-prinsip fiqh Islam mempunyai nilai yang sangat tinggi yang tak perlu dibantah lagi ditinjau dari segi hukum dan perundang-undangan. Dan perbedaan-perbedaan mazhab-mazhab fiqh yang ada dalam buku-buku hokum yang besar-besar itu menunjukkan betapa banyaknya pemahaman dan pengertian yang digali dari prinsip-prinsip hukumnya, yang patut dikagumi. Dengan demikian fiqh Islam akan mampu menjawab semua tuntutan hidup modern ini serta akan dapat memecahkan problema-problema  yang dihadapi.[11]
PENUTUP
KESIMPULAN
Kaum orientalis sampai kapanpun tidak akan berhenti untuk menggali tentang Islam, tujuannya bukannya untuk turut menjadi golongan islam atau menjadi orang Islam. Tetapi sesuai dengan tujuan orientalis salah satunya yaitu missionaris, maka para orientalis tidak akan berhenti mengkaji islam untuk mencoba mencari-cari kelemahan Islam.
Tidak hanya sebatas kajian al-qur’an dan Hadist, namun segala hal berkaitan dengan Islam, termasuk hukum-hukumnya.sumber-sumber hukumnya, juga mengenai kapan mulai berlakunya. Tentunya kita tidak bisa menerima dan menelan pendapat-pendapat mereka begitu saja, sekalipun nampak rasional.
Mengenai hukum Islam tokoh orientalis banyak beranggapan bahwa hukum Islam baru muncul dan dimunculkan oleh para ulama pada masa kedua hijriah. Mereka juga beranggapan bahwa fiqh dan hukum Islam hanya perwujudan dari adat istadat pada masa itu. Padahal anggapan-anggapan tersebut, jelas salah bahkan dibantah oleh kaum mereka sendiri. Sesuai kenyataannya bahwa fiqh sudah digunakan sejak rasulullah masih hidup.  







  DAFTAR PUSTAKA
 Arif, Syamsuddin. 2008. Orientalis dan Diabolisme Pemikiran, PT. Gema Insani, Jakarta.
Assamurai, Qasim. 1996. Bukti-bukti Kebohongan Orientalis, PT. Gema Insani Press, Jakarta.
Darmalaksana, Wahyudi. 2004. Hadis di Mata Orientalis, Telaah atas Pandangan Ignas Goldziher dan Joseph Schacht, PT. Benang Merah Press, Bandung.
http://roismuhammadzaky07.blogspot.com/2011/08/mengkritisi-kajian-orientalis-dalam.html
 Jamal, Ahmad Muhammad. 1991. Membuka Tabir Upaya Orientalis dalam Memalsukan Islam, PT. Diponegoro, Bandung.






              [1] Jurnal Ilmiah Ilmu Ushuluddin vol. 4 no: 1 April 2005.
              [2] Wahyudin Darmalaksana, Hadis di Mata Orientalis, Telaah atas Pandangan Ignas Goldziher dan Joseph Schacht, (Bandung: Benang Merah Press, 2004), h.107-109.
[4] Wahyudin Darmalaksana, Hadis di Mata Orientalis,,,,, h. 115-116
[5] Syamsuddin Arif, Orientalis dan Diabolisme Pemikiran, (Jakarta; Gema Insani, 2008), h. 36.
[6] Wahyudin Darmalaksana, Hadis di Mata Orientalis,,,,h. 113
               [7] Ahmad Muhammad Jamal, Membuka Tabir Upaya Orientalis dalam Memalsukan Islam, (Bandung; Diponegoro, 1991), h. 125.
              [9] Qasim Assamurai, Bukti-bukti Kebohongan Orientalis, ( Jakarta: Gema Insani Press, 1996) h. 139
           [10]Ahmad Muhammad Jamal, Membuka Tabir,,,,,,,,,,,,,h. 127.
            [11] Ahmad Muhammad Jamal, Membuka Tabir,,,,,,,,,,h. 130.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar