Senin, 26 Desember 2011

Makalah Masyarakat Dayak


TUGAS TERSTRUKTUR
DOSEN PENGASUH
Budaya Masyarakat Dayak
Bp. Abd. Rahman Jaferi

Makna dan Kekuatan Simbol Adat
Pada Masyarakat Dayak
Di Kalimantan Barat
Ditinjau Dari Pengelompokan Budaya
Hj.Irene A. Muslim
S.Jacobus E.Frans L.



whiteng
 
















OLEH

Mulyadi
(1001411006)



INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI ANTASARI
F A K U L T A S   USHULUDDIN
JURUSAN PERBANDINGAN AGAMA
BANJARMASIN
2011

 
BAB I
PENDAHULUAN
Suku bangsa Dayak[1] sebagai masyarakat hokum adat  mempunyai hubungan yang erat dengan lingkungan hidupnya. Mereka sering dipengaruhi oleh alam pikiran religeo magis. Kenyataan yang demikian tidak selalu mudah untuk dimengerti atau dipercayai oleh setiap orang. Sebaliknya, masyarakat Dayak menganggap pengetahuan akan tanda-tanda atau simbol-simbol tertentu dalam kehidupan mereka adlah hal yang wajar, meskipun sebenarnya tidak semua orang memiliki  kepandaian untuk itu. F.D. Holleman dalam pidato inaugurasi “ De Commune Trek In Het Indonesische Reschtsleven” (Corak kegotong royongan dalam Kehidupan Hukum Indonesia) menyatakan;
“Religion magis/ sacral: artinya percaya kepada kekuataan ghaib (magis) sebagai suatu kekuatan yang menguasai alam semesta dan seisinya dalam keadaan kesinambungan. Karena itu, setiap masyarakat hokum adat pada dasarnya merasa wajib untuk senantiasa turut menjaga dan mempertahankan keadaan  kesinambungan alam yang terwujud berkat adanya kekuataan ghaib.”
Bagi orang dayak adanya kemungkinan dan kemampuan untuk berkomunikasi dengan alam, baik dengan alam ghaib maupun dengan alam nyata tidak banyak menjadi pertanyaan dalam kehidupan, karena mereka selalu memelihara pengetahuan dan kepercayaan pada tanda-tanda alam tersebut. Sebagian besar orang dayak percaya  bahwa ada tanda-tanda dan kekuatan supra natural yang dapat menimbulkan keghaiban melalui pristiwa tertentu.
Terlebih dahulu dikemukakan pengelompokan untuk  melihat keberadaan atau menempatkan hubungan  antara masyarakat hokum adat suk bangsa Dayak yang satu dan yang lainnya. Salah satu pendekatan dalam pengelompokan ini adalah persamaan unsure-unsur kebudayaan, seperti seni tari, seni suara, seni rupa, dan seni music.
Namun tidak berarti bahwa symbol-simbol adat yang dimiliki atau diyakini oleh semua masyarakat hokum adat suku Dayak itu akan terangkum dalam makalah ini.
BAB II
PEMBAHASAN
A.    Pengelompokan budaya
Hubungan antar-subsuku dayak dapat ditelusuri melalui berbagai pendekatan. Salah satu diantarannya adalah melalui seni-budaya: tarian, ukiran, atau lukisan dan music.
a.      Tarian
Dalam berbagai kesempatan penampilan tarian ttradisional-terutama dilihat dari gerak-gerik langkah, bentuk dan bunyi instrument music, serta bentuk dan motif pakaian tradisional-tampak bahwa seni tari antara subsuku bangsa Dayak yang satu dengan yang lainnya mempunyai banyak persamaan. Persamaan ini dapat menunjukan indikasi bahwa terdapat hubungan kekerabatan pada masa lampau. Kelompok-kelompok demikian adalah sebagai berikut:
1.      Orang kayan, Punan, Bukat dan Oheng (Peneheng) mempunyai alat music sape dan tarian serta motif busana yang sngat mirip.
2.      Orang Iban, Kantuk, Muwalang, Seberuang, Tabun di Ketungau, Desa di Lebang/Kapuas, Lino di Melawidan Bungao, dalam memukul gong, tawak, gendang, bebendai serta Engkerumong (gamelan kecil), kemudian mereka menari, akan terkesan bahwa bunyi instrument, gaya tari, dan motif busana mereka ada kesamaan.
3.      Orang Banuaka’ Taman di Banua’ Sio, Mandalam, Kapuas dengan Banuaka’ di Kalis, Paniung, Sabintang, dan di Alau, Apalin, Nanga Nyabo, dll. Yang mana gaya dan motif busana mereka ada kesamaan.
4.      Orang Jangkan Ribun, Pandu, Pompang, Desa di Maliau, sama dalam memukul gong, tawak, gaya tari, dan motif busana.
b.      Busana tradisional
1.      Kelompok Dayan Kayan, Iban dan Banuaka’ untuk pakaian laki-laki mempunyai kesamaan dalam: Cawat (sirat, kainampura), rompi (gagung), topi (kambu).
2.      Kelompok Ud Danum, Kaninjal, Undau, Kubin mempunyai kesamaan dalam busana dan senjata perang/ berburu serta beberapa peralatan rumah tangga.
c.       Ukiran
1.      Kelompok Banuaka’ terkesan adanya kesamaan dengan kelompok Kayan dan kelompok Iban dalam bentuk dekoratif walaupun pada kelompok Kayan lebih menonjolkan motif akar atau pakis, sedangkan Iban lebih menonjolkan motif daun-daun dan Banuaka’ menonjolkan dari penggabungan motif keduanya.
2.      Kelompok Ut Danum, Kaninjal, Undau, Kubin mempunyai kesamaan dalam berbagai motif ukiran.
3.      Ukiran Jangkang-Ribun banyak kesamaan dengan Mahap, Mentuka, Kerabat Bedayuh Menyuke, Kanayatn, Lara, Jagoi, Bakati, suku bangsa Kayung-Jelai, dan Siring (Simpang).
4.      Ukiran Kanayatn banyak persamaan dengan Menyuke, Lara, dan Bakati serta Kayung-Jelaai di Kabupaten Ketapang.
d.      Bahasa
Persamaan-persamaan languistik terdapat sangat jelas pada:
1.      Orang Kayan dengan Punan, dan Bukat
2.      Orang Banuaka’ di: Banua Sio, Mandalam, Kapuas, dengan Kalis, dan Paniung, Sebintang, Alau, Apalin,Nyabo, Nanga Nyabo, Sunge Ulo dengan di Tamambalo, Tamao sertra Labiyan.
3.      Orang Suruk dengan Memayan, dan Suhaid.
4.      Orang Iban dengan Kantuk, Seberuang, Muwalang, Ketungau, Seburuk, dan Desa.
5.      Orang suku Kaninjau dengan Undau, Kubin, dan Linau.
6.      Orang Jangkang dengan Ribun,Pandu, Mahab, Mantuka, Kerabat, Pompang dan Simpang.
7.      Orang banyuke’, Kanayatn, Bakati, Lara, Jagoi.
8.      Orang Jelai dengan Kendawang, Pesaguan, Kayung di Kabupaten Ketapang.
e.       struktur kemasyarakatan
Di Kalimantan terdapat dua subsuku yang mempunyai struktur masyarakat berlapis, yaitu:
1.      Orang Kayan yang masyarakatnya terdiri dari hipi (orang bangsawan), payin (warga biasa), dan dipan (budak).
2.      Orang Banuaka dengan struktur masyarakat yang terdiri dari samagat (bangsawan),  babiring (bangsawan campuran masyarakat biasa), banua (masyarakat biasa), dan pangkam (budak)[2].
f.       macam-macam simbol
Dalam pengenalan dan penggunaan simbl-simbol dalam masyarakat Dayak di Kalimantan Barat jelas terdapat banyak kesamaan. Hal ini ada kaitannya dengan kepercayaan mereka, dengan menganggap bahwa alam itu , baik yang nyata maupun yang ghaib, merupak sumber dan basis kehidupan.
            Oleh karena itu, jika mereka bijaksana menata alam mereka akan mendapat rezeki dari alam, dibantu, dan bahkan akan di lindungi leh alam. Dalam masyarakat Banuaka ada yang disebut dengan karue, dan pada Iban ada penfaroh yaitu suatu benda alam, baik berupa batu, kayu, tulang, atau benda lain yang bentuknya menyerupai benda atau binatangf tertentu dianggap mempunyai roh atau kekuatan ghaib yang dapat membantu manusia dalam mencatri rezeki.
g.      Kegunaan
1.      Untuk mengatasi dalam menyatakan keadaan perang.
Keputusan untuk mengedarkan simbol-simbol ini diambil dalam suatu musyawarah adat luar biasa.
a.       Mangkok Merah pada kelompok Dayan Kanayatn, yang terdiri dari;
1)      Mangkok kecil putih yang di olesi dengan darah hewan
2)      Bulu ayam
3)      Tongkat api (puntung kayu api yang sudah dibakar)
4)      Potongan atap (kajang)
b.      damak/ Patuong pada Dayak desa di kecamatan Meliau kabupaten Sanggau, yang terdiri dari;
1)      korek api/ punting kayu yang sudah dibakar
2)      bulu ayam
3)      potongan atap (kajang)
c.       bungae Jarao pada Dayak Iban, dipergunakan sebagai alat komunikasi yang terdiri dari;
1)      bentuk bunga dari irisan kayu
2)      punting kayu api yang sudah dibakar
3)      bulu ayam
4)      potongan atap (kajang)
Pengedaran mangkok merah, Bungae jarao, damak/patuong ditujukan pada kaum kerabat mohon bantuan segera. Khusus untuk masyarakat Kanayatn, pengedaran tersebut harus dari restu nenek moyang mereka yang dimohonkan dalam upacara sakralmelalui Pantak Padagi. Oleh karena itu setiap orang atau setiap kampong yang dilewati atau dituju harus meneruskannya kepaa orang atau kampong pertama berikutnya, sampai symbol itu kjembali lagi ke orang atau kampong pertama yang mengedarkannya.
Tetapi apabila terhenti disuatu kampong tanpa alas an yang dapat dipertanggung jawabkan, maka kampong tersebut akan dikenakan sanksi berupa hokum adat Pati Nyawa (tebusan jiwa), atau di klasifikasikan sebagai musuh, atau dikutuk oleh arwah nenek moyang.
Selain dengan pengedaran mangkok merah, masyarakat kanayatn mempunyai pula suatu kemampuan ghaib untuk mengerahkan massa, yaitu Tariu[3].
2.      Pertanda gawat dareuat atau berbahaya
a)      Bunyi burung ketupong (Iban) atau antis (banuaka’). Bunyi disebelah kiri jalan sebagai peringatan untuk waspada akan bahaya, yang dapat menimpa pendengar atau keluarganya. Bila bunyi disebelah kiri, atau bersahutan dengan bunyi disebelah kanan, pertanda bahwa keaadan sudh gawat.
b)      Bunyi burung lang (iban)atau burung bua (banua ka’)pada malam hari,mengisyaratkan sesuatu yang kurang menyenangkan akan terjadi.
c)      Penampakan kesulae atau buyah (Iban), babau pampang surabe( banuaka) yaitu kupu-kupu besar  yang berwarna loreng yang datang kerumah, menandakan bahwa ada kerabat dekat yang meninggal dunia
d)      Bunyi buraung pok (iban) pada malam hari menanda kan bahwa akan ada kerabat yang meninggal dalam waktu dekat
e)      Bunyi kijang (iban) atau kidang (pada saat sibuk bekerja) pada saat sibuk bekerja di ladang sebagai pertanda berita buruk.
f)       Ada ular melintas didepan ketika melakukan perjalanan, sebagai tanda adanya malapetaka
g)      Adanya pungu (Iban/ Banuaka’) yaitu sepotong kayu yang sudah mati jatuh disekitar tempat bekerja menandakan bahwa ada kabar buruk.
h)      Mimpi patah gigi geraham menandakan ada kerabat yang meninggal.
3.      Pertanda keadaan yang menyenangkan
a)      Bunyi burung nendak (Iban) atau andak (Banuaka’) disebelah kiri jalanmenandakan keadaan aman, sebelah kanan menandakan keadaan yang menyenangkan dan bersahutan di kiri dan kanan menandakan keadaan menyenangkan.
b)      Penampakan kesulai (Iban) atau babau (banuaka’) yaitu;
1)      Kupu-kupu kecil sebagai pertanda tamu biasa
2)      Kupu-kupu besar sebagai petrtanda ada tamu terkemuka atau kerabat dekat.
4.      Pertanda larangan
a)      Pasindang atau sindang (Banuaka dan Iban) yang menandakan larangan mengambil, atau mengganggu, atau merusak. Apabila terjadi pelanggaran, maka yang bersalah akan disingar/ditunggu (Banuaka’ dan Iban) yaitu dikenakan sanksi denda adat sesuai dengan sifat perbuatan atau pelanggaran tersebut.
b)      Tingkalungan (Banuaka’) yaitu suatu tanda terkabung yang dipasang diperbatasan kampong/desa.
5.      Pertanda perdamaian
Sebagai tanda perdamaian atau persahabatan umpamanya pada masyarakat tampayatn dipakai tempayan kecil yang bertutupkan piring dihalaman rumah, dengan sejumlah sesajen, dihiasi dengan bunga atau daun.
6.      Lain-lain simbol atau lambang
a)      Ukiran naga (Banuaka’=Binawa, Iban=Nabao)sebagai lambang kebesaran.
b)      Ukiran dan bulu burung enggang (Banuaka’=Tantakuan, Iban=Kenyalang)sebagai lambang perkasaan, disamping makna lain:
1)      Untuk Iban sebagai lambang pemujaan
2)      Untuk Banuaka’ sebagai hiasan hanya dibolehkan bagi satria yang pernah berperang;
c)      Bulu burung Ruae/Kuawo (Banuaka’=Aruwe, Iban=Ruae) sebagai lambang keindahan
d)      Tato:
1)      Pada tangan perempuan Kayan menandakan bahwa dia keturunan seorang bangsawan;
2)      Pada jari tangan laki-laki orang iban menandakan bahwa dia seorang satria pernah berperang.
BAB III
PENUTUP
Uraian tersebut diatas menunjukan bahwa masyarakat Dayak merupak bagian integral dari alam sekitarnya, yang menghendaki seorang menyesuaikan diri dengan tata cara yang ditetapkan oleh alam.
Demikian pula untuk menjaga keseimbangan alam sekitr termasuk region magis oleh masyarakat disepakati berbagai ketentuan atau norma yang harus ditaati atau dipatuhi. Oleh karena itu , tidak heran kalau masih banyak warga masyarakat Dayak yang mengerti dengan baik tanda-tanda alam, dan percaya serta tetap menjalin hubungan dengan alam, terutama bagi symbol dan lambang.
Hal tersebut sebagaimana pula yang dikatakan oleh DR. Soerjono Soekanto, SH.,MA, bahwa: “Orang Indonesia merasa dirinya sebagai bagian dari alam sekitarnya, dan didalam segala tingkah lakunya. Untuk mencapai kebahagian hidup seorang harus menyesuaikan diri dengan tata cara sebagaimana telah ditetapkan oleh alam sekitarnya”. Dan: “Suatu perbuatan yang melamnggar diartikan sebagai suatu tindakan yang mengganggu dalam keseimbangan alam, oleh karena itu, sanksi-sanksi atas pelanggaran demikia ditujukan untuk perbaikan kembali keseimbangan alam,  (alam pikiran kosmis)”. (Pokok-pokok Sosiologi Hukum 1980:23).
Dilain pihak sebagaimana dikatakan oleh Surojo Wignjodipuro,SH bahwa “… Dimana ada masyarakat, disitu ada hokum (adat). Hokum yang terdapat didalam masyrakat manusia betapa sederhana dan sekecil apapun masyarakat itu menjadi cerminnya… begitu pula halya dengan hokum adat di Indonesia. Hokum adat itu senantiasa tumbuh dari suatu kebutuhan hidup yang nyata, cara hidup dan pandangan hidup yang keseluruhannya merupakan kebudayaan masyarakat tempat hokum adat itu berlaku’. (Pengantar dan Azas-azas hokum Adat 1973:80-81).
Hubungan dengan berbagai macam symbol dan maknanya dengan hokum adat dan alam sekitar, tidak terlepas dari berbagai faktor yang sekaligus juga merupakan cirri dari masyarakat hokum adat tersebut.



[1] Penulisan Dayak tanpa huruf “K” (Daya) dimulai pada tahun 1947 setelah kongres persatuan dayak di Sanggau dan dimuat pada surat kabar keadilan (Sumber F.C Palaunsoeka dan Baroamas) Jabang Balunus
[2] Golongan budak hanya ada pada zaman dahulu sekarang sudah dihapuskan
[3] Yaitu teriakan histeris yang mampu menggerakan masa dan mengandung kekuatan ghaib.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar